[24 Mei] Presiden baru mendatang diminta berani mengurangi ketergantungan impor bahan bakar minyak (BBM) dari Singapura.
Direktur
Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan mengatakan, persentase jumlah
impor BBM dari Singapura ke Indonesia masih tinggi. Sebab itu, dia
berharap Presiden mendatang harus bisa membawa Indonesia mandiri dalam
memenuhi kebutuhan energi dan mengurangi ketergantungan impor dari
Singapura.
“Bagaimana kita bisa mandiri dan menumbuhkan ketahanan energi kalau masih tergantung sama impor,” katanya kepada Rakyat Merdeka, kemarin.
Menurut
Mamit, impor BBM menyebabkan keuangan negara defisit. Kebutuhan BBM
tercatat mencapai 1,4 juta barel per hari (bph). Sementara kapasitas
kilang minyak Indonesia hanya sekitar 1,1 juta bph. Kondisi ini
diperparah dengan produksi minyak Indonesia yang hanya sekitar 800 ribu
bph.
Dari 800 ribu bph itu, kata dia, sekitar 600 ribu bph yang
dapat diolah di kilang Pertamina. Untuk memenuhi kekurangan, pemerintah
terpaksa mengimpor minyak mentah sekitar 400 bph dan impor BBM sekitar
500 bph.
Mamit mengatakan, untuk mengatasi kekurangan BBM
idealnya dengan meningkatkan produksi migas. Namun, hal itu bukan
perkara mudah karena lapangan-lapangan migas Indonesia sudah berumur tua
dan belum ada lagi penemuan lapangan migas yang cukup besar.
“Upaya
yang dilakukan untuk menekan impor BBM serta meningkatkan ketahanan
energi adalah mandatori BBN (bahan bakar nabati) ke BBM dan membangun
kilang minyak,” katanya.
Apalagi, lanjutnya, stok minyak
Indonesia hanya cukup untuk empat hari. Sedangkan cadangan operasional
yang disiapkan Pertamina sekitar 22 hari.
“Jika Indonesia
terlibat perang, maka ketahanan energinya hanya mampu bertahan 4 hari.
Hal ini jauh berbeda dengan Singapura yang memiliki cadangan operasional
BBM sebanyak 90 hari,” ujar Mamit.
Karena itu, kata Mamit,
pekerjaan Presiden mendatang sangat berat dalam menciptakan ketahanan
energi dan mengurangi ketergantungan impor.
Hal senada
disampaikan Direktur Pusat Studi Kebijakan Publik (Puskepi) Sofyano
Zakaria. Menurut dia, tantangan Presiden baru bagaimana meningkatkan
produksi minyak nasional.
Menurut Sofyano, target produksi minyak
dalam 10 tahun pemerintahan terakhir terus merosot. Dari produksi 870
ribu bph yang dipatok dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN) 2014 kembali meleset. Produksi tahun ini hanya tercapai kurang
dari 820 ribu bph dan kini ditetapkan 810 ribu bph dalam APBN Perubahan
2014.
“Akankah Presiden dan Wapres baru nanti mampu menggenjot target produksi sejuta barel, kita lihat saja,” ujarnya.
Dia
mengatakan, target produksi minyak satu juta bph tahun ini gagal total.
Padahal, jika itu direalisasikan bisa mengurangi ketergantungan dari
impor.
Kepala Ekonom Danareksa Research Institute Purbawa Yudhi
Sadewa mengatakan, selama ini Indonesia tergantung pada impor produk
minyak dari Singapura. Padahal, Indonesia memiliki kemampuan menciptakan
ketahanan energi.
Karena itu, setiap capres-cawapres harus
membuat kebijakan yang jelas bagaimana mensinergikan sumber daya alam
yang berlimpah untuk menciptakan ketahahan energi.
“Tapi kebijakan itu harus dilakukan lintas sektoral. Kalau dilakukan sendiri-sendiri tidak akan jalan,” ingatnya.
Purbawa
menyatakan, menciptakan ketahanan energi bisa dimulai dengan membangun
kilang untuk menambah stok di dalam negeri sekaligus mengurangi
ketergantungan terhadap impor BBM.
Menteri Energi dan Sumber Daya
Mineral (ESDM) Jero Wacik memproyeksi, nilai impor minyak mentah dan
produk BBM di 2019 bakal menghabiskan dana Rp 1,8 triliun per harinya.
Itu terjadi jika Indonesia tidak mampu mengurangi ketergantung impor
minyak mentah dan produk BBM.
“Saat ini saja impor minyak mentah
dan produk BBM mencapai 120 juta dolar AS per hari. Habis uang jika
terus didiamkan,” kata Wacik.
Menurut Wacik, Indonesia perlu
mengurangi ketergantungan impor energi secara bertahap. Meski pelan,
setidaknya tindakan itu dilakukan secara cepat sehingga mengurangi beban
anggaran ke depannya.
Sumber: rmol
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar